Analisis Cerpen
RIWAYAT PENGARANG
Samuel Beckett lahir di Dublin, Irlandia tahun 1906
dan meninggal tahun 1989 di Paris, Prancis. Beckett dianggap sebagai salah satu
pengarang abad ke-20 yang paling inovatif dan berpengaruh. Hal ini berangkat
dari keyakinannya, yang selalu membekas dalam karya-karyanya, bahwa hidup
manusia adalah absurb, tidak jelas, keras, dan akhirnya tidak memiliki tujuan.
Secara pribadi, ia gigih menyuarakan metafora-metafora tentang malaise moral
manusia.
Beckett terutama dikenal sebagai
penulis drama, tetapi ia juga menulis novel dan puisi. Ia telah menulis enam
novel, empat naskah drama serta lusinan fragmen yang pendek, selain sebuah esai
dan satu kumpulan puisi. Tetapi yang membuat namanya dikenal adalah karya drama
Waiting for Godot (1952) yang
disebut-sebut sebagai drama paling penting dalam abad ke-20.
Dalam keterangan pers-nya, Akademi
Swedia menganugerahkan Hadiah Nobel Kesusastraan pada Beckett sebagai
pengakuan: “….untuk karangan-karangannya
yang dalam serta mengungkap kekurangan manusia modern, mendapatkan tempat yang
luhur lewat bentuk novel dan drama gaya baru….”
Beckett adalah sastrawan kedua
Irlandia (setelah William Butler Yeats tahun 1923) yang memperoleh penghargaan
tersebut. Atau sastrawan ketiga setelah George Bernard Shaw (tahun 1925) yang
kemudian hijrah dan menjadi warga negara Inggris.
PENDAHULUAN
Pradopo (2003:57) menyatakan bahwa menurut ilmu jiwa
modern, jiwa manusia itu terdiri dari lima tingkatan, begitu juga pengalaman
jiwa terdiri dari lima tingkatan atau niveaux.
Tingkatan pertama: niveau anorganis, yaitu tingkatan jiwa
yang terendah, yang sifatnya seperti benda mati, mempunyai ukuran, tinggi,
rendah, panjang, dalam, dapat diraba, didengar, pendeknya dapat diindera. Bila
terjelma daam kata (karya sastra), berupa pola bunyi, irama, baris sajak,
alinea, kalimat, perumpamaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Jadi, pada umumnya
berupa bentuk formal.
Tingkatan yang kedua: niveau vegetatif, yaitu tingkatan
seperti tumbuh-tumbuhan, seperti pohon mengeluarkan bunga, mengeluarkan daunnya
yang muda, gugur daun, dan sebagainya. Segala pergantian itu menimbulkan
bermacam-macam suasana.
Tingkatan ketiga: niveau animal, yaitu tingkatan seperti
yang dicapai oleh binatang, yaitu sudah ada nafsu-nafsu jasmaniah. Bila
tingkatan ini terjelma ke dalam kata berupa nafsu-nafsu naluriah, seperti
hasrat untuk makan, minum, nafsu seksual, nafsu untuk membunuh, dan sebagainya.
Tingkatan keempat: niveau human, yaitu tingkatan jiwa yang
hanya dapat dicapai oleh manusia, berupa perasaan belas kasihan, dapat
membedakan baik buruk, berjiwa gotong-royong, saling bantu membantudan
sebagainya. Bila tingkatan itu terjelma ke dalam kata berupa renungan-renungan
batin, konflik-konflik kejiwaan, rasa belas kasihan, rasa simpati,
renungan-renungan moral, dan sebagainya. Pendeknya segala pengalaman yang hanya
dirasakan manusia.
Tingkatan yang kelima: niveau religious atau filosofis, ini adalah tingkatan kejiwaan
yang tertinggi, tingkatan ini tidak dialami oleh manusia sehari-hari, hanya
dialami bila sembahyang, dzikir, berdoa, juga pada waktu merenungkan hakikat
dunia, kehidupan, dan sebagainya. Bila tingkatan ini terjelma ke dalam kata,
maka berupa renungan-renungan batin sampai kepada hakikat, hubungan manusia dengan
Tuhan, seperti doa-doa, pengalaman mistik,
renungan-renungan filsafat; pendeknya renungan-renungan yang sampai
kepada hakikat.
PEMBAHASAN
Analisis cerpen “Molloy”
berdasarkan pengalaman jiwa pengarang.
1. Tingkatan
pertama: niveau anorganis, yaitu tingkatan
jiwa yang terendah.
Seperti
halnya dalam puisi, cerpen juga mempunyai irama untuk di analisis. Contoh; pada
cerpen “Molloy” ini mempunyai irama metrum. Metrum adalah irama yang tetap ,
artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu (Pradopo, 2005:40).
Irama metrum ini didapat dari analisis kata dan kalimat yang dituliskan oleh
pengarang itu datar tanpa ada konflik. Ceritanya tetap mengalir dari awal
sampai akhir.
Ada banyak yang mesti kita coba dan
temukan. Tetapi ada hal-hal yang tertentu yang tidak seharusnya kita pikirkan
dengan serius. Ada sebagian dari segala sesuatu yang secara penampakan wujud
lahirnya memiliki cacat-cacat tersendiri. Dan pada suatu ketika aku mungkin
menjadi bingung oleh kontrasnya perbedaan-perbedaan itu. Tetapi
pertentangan-pertentangan adalah tempat kediamanku.
Paragraf
di atas merupakan simpulan dari kalimat pengarang pada bagian akhir cerita yang
menggambarkan hidupnya seakan tanpa pernah ada masalah.
2. Tingkatan
kedua: niveau vegetatif, yaitu
tingkatan seperti tumbuh-tumbuhan. Segala pergantian (daun yang gugur, pohon
mengeluarkan bunga) itu menimbulkan bermacam-macam suasana.
Pada
cerpen “Molloy” ini suasana yang digambarkan pengarang adalah kesedihan dan
keputusasaan.
Apa yang sesungguhnya kuinginkan sekarang
adalah membicarakan hal-hal yang telah lewat, mengucapkan selamat tinggal, lalu
mengakhirinya dengan kematian.
Aku memiliki cacat untuk dapat
membangkitkan semangat orang lain, yaitu orang-orang yang bertongkat. Kemudian
bisikan-bisikan dan gumam-gumam itu kembali dimulai.
Tulisan
pengarang yang tanpa ada konflik ini hanya menggambarkan kesedihan tokoh yang
setelah di tinggalkan ibunya pergi untuk selama-lamanya kemudian teringatlah ia
akan seseorang yang pernah singgah di hatinya.
3. Tingkatan
yang ketiga: niveau animal, yaitu
tingkatan seperti yang dicapai oleh binatang, yaitu sudah ada nafsu-nafsu
jasmaniah.
Cerpen
“Molly” ini tidak mempunyai nafsu jasmaniah yang dicapai oleh binatang seperti
pada penjelasan di atas hanya saja mempunyai nafsu laykanya manusia yang
mempunyai rasa suka dan nafsu untuk bertahan hidup.
-
Cerpen ini di gambarkan
pengarang dengan tokoh yang mempunyai nafsu untuk tetap bertahan hidup.
Dia tampak tua. Dan dengan pandangan
mata penuh penyesalan, ia menekuri kesunyian yang telah ditempuhnya
berabad-abad, bertahun-tahun, berhari-hari, dan bermalam-malam tanpa pernah
berpikir untuk membiarkan keajaiban-keajaiban itu muncul justru pada hari
kelahirannya, atau bahkan jauh-jauh hari sebelumnya.
Pada
kata menekuri kesunyian yang telah
ditempuhnya berabad-abad, bertahun-tahun, berhari-hari, dan bermalam-malam,
penulis mengisahkan masih adanya harapan untuk hidup dari tokoh dalam cerpen
tersebut.
-
Lebih lanjut, gambaran
rasa suka (kagum) antara manusia yaitu;
Cinta
yang sejati telah kupersembahkan pada orang yang lainnya lagi. Kita akan
membicarakannya setelah ini. Namanya? Ah, aku sudah lupa. Dan agaknya, bagi
diriku sendiri, kadang-kadang seakan aku merasa begitu mengetahui ihwal anak
laki-lakiku tadi. Aku betul-betul mengaguminya. Kemudian aku meyakin-yakinkan
diriku kalau itu tidak mungkin. Seperti juga tidak mungkinnya aku dapat
mengagumi orang lain. Aku bahkan sudah lupa, bagaimana mengeja dan memilah
kata-kata. Tampaknya ini tidak penting.
4. Tingkatan
yang keempat: niveau human, yaitu
tingkatan jiwa yang hanya dapat dicapai oleh manusia.
Gambaran
jiwa dari pengarang pada cerpen ini adalah rasa simpati.
Ada seorang laki-laki yang rutin
berkunjung setiap minggu. Mungkin aku harus berterima kasih padanya. Dia tidak
banyak bicara. Dia memberiku uang dan mengambil berkas-berkas. Lebih banyak
berkas, akan lebih banyak uang. Ya, aku bekerja sekarang. Setidak-tidaknya,
yang kuangankan, sedikit mirip. Lagi pula aku tidak tahu persis, bagaimana
sesungguhnya bekerja itu. Agaknya ini tidak penting.
5. Tingkatan
yang kelima: niveau religius atau filosofis, ini adalah tingkatan jiwa
yang tertinggi.
Cerpen
“Molly” ini tidak mempunyai tingkatan jiwa yang dialami sewaktu sembahyang,
dzikir, berdoa dan sebagainya tetapi, mempunyai renungan filosofis, yaitu;
Ada banyak yang mesti kita coba dan
temukan. Tetapi ada hal-hal yang tertentu yang tidak seharusnya kita pikirkan
dengan serius. Ada sebagian dari segala sesuatu yang secara penampakan wujud
lahirnya memiliki cacat-cacat tersendiri. Dan pada suatu ketika aku mungkin
menjadi bingung oleh kontrasnya perbedaan-perbedaan itu. Tetapi
pertentangan-pertentangan adalah tempat kediamanku.
PENUTUP
Analisis
menurut tingkatan atau pengalaman jiwa pengarang yang dibagi menjadi lima,
yaitu; niveau anorganis, niveau
vegetatif, niveau animal, niveau human, dan niveau religius pada cerpen “Molly” karya Samuel Buckett mempunyai
tataran bahasa tingkat tinggi. Bahasa itupun tersusun rapi dalam kalimat yang
mempunyai irama metrum. Kesemua cerita mengalir datar tanpa ada konflik yang
dijadikan klimaks.
Dapat
disimpulkan bahwa cerita pada cerpen ini merupakan pengajaran bagi pembaca agar
dapat memandang hidup itu dapat dinikmati tanpa harus melihat kejadian apa yang
pernah ada. Fitrah manusia adalah tercipta sebagai makhluk yang tidak sempurna
dan mempunyai rasa cinta, kasih, dan sayang.
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 2004. Antologi Cerpen Nobel.
Yogyakarta: Bentang.
Pradopo,
Rahmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Pradopo,
Rahmat Djoko. 2003. Prinsip-prinsip
Kritik Sastra. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Komentar
Posting Komentar