Pendekatan, Metode, Strategi, Model Pembelajaran Sastra
1. Pendahuluan
Pembelajaran sastra
merupakan bagian dari pembelajaran bahasa. Dimasukkannya pembelajaran sastra ke
dalam pembelajaran bahasa Indonesia kiranya dapat dimaklumi, karena secara
umum, sastra adalah segala sesuatu yang ditulis. Pengertian semacam itu
dianggap terlalu luas dan juga terlalu sempit. Dianggap terlalu luas karena,
dengan demikian, semua buku termasuk sastra. Dianggap terlalu sempit dengan
keberatan bahwa macam balada yang dinyanyikan dan cerita yang dibacakan, dengan
demikian, tidak termasuk dalam sastra (Sumaryadi, 2008).
Pembelajaran sastra penting
bagi siswa karena berhubungan erat dengan keharuan. Sastra dapat menimbulkan
rasa haru, keindahan, moral, keagamaan, khidmat terhadap Tuhan, dan cinta
terhadap sastra bangsanya (Broto, 1982: 67). Di samping memberikan kenikmatan
dan keindahan, karya sastra juga memberikan keagungan kepada siswa pada
khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Sastra Indonesia secara umum dapat
dipakai sebagai cermin, penafsiran, pernyataan, atau kritik kehidupan bangsa.
Fungsi sastra kiranya tidak
perlu diragukan lagi. Sastra dapat memberikan pengaruh yang sangat besar
terhadap cara berpikir orang mengenai hidup, baik dan buruk, benar dan salah,
dan cara hidupnya sendiri dan bangsanya (Soeharianto, 1976: 25). Pendek kata,
sastra memberikan berbagai kepuasan yang sangat tinggi nilainya, yang tidak
dapat diperoleh dengan cara lain sehingga sastra memberikan pengaruh yang
menguntungkan kepada penikmatnya.
Pada proses pembelajaran
sastra tentunya melibatkan guru sastra (dalam hal ini guru bahasa Indonesia)
sebagai pihak yang mengajarkan sastra, dan siswa sebagai subjek yang belajar
sastra. Dalam pembelajaran sastra ada suatu metode –sebagai suatu
alternatif—yang menawarkan keefektifan kerja guru bahasa Indonesia. Jika
berbicara masalah metode tidak dapat lepas dari masalah pendekatan atau
ancangan (approach) yang menurunkan
metode (method). Untuk selanjutnya,
suatu metode ternyata akan menyarankan penggunaan teknik-teknik tertentu pula.
Dengan demikian, secara hirarkis akan dikemukakan adanya tiga tataran, yaitu:
pendekatan (approach), metode (method), dan teknik (technique).
2. Pembahasan
2.1 Pendekatan
Pembelajaran
Dalam pembelajaran modern
sekarang ini, yang lebih dipentingkan bagaimana mengaktifkan keterlibatan
peserta didik dalam proses pembelajaran secara mandiri, yaitu melalui kegiatan
pembelajaran yang berorientasi pada penemuan (discovery) dan pencarian (inquiry).
Kegiatan pembelajaran dengan
melalui pendekatan ini memiliki dampak positif yang meliputi:
a.
Dapat
membangkitkan potensi intelektual siswa karena seorang hanya dapat belajar dan
mengembangkan pikirannya jika menggunakan potensi intelektualnya untuk berpikir
b.
Peserta
didik yang semula memperoleh extrinsic
reward dalam keberhasilan belajar (seperti mendapat nilai baik dari
pengajar) dalam pendekatan inquiry
ini dapat memperoleh instrinsic reward.
Diyakini bahwa jika seorang peserta didik berhasil mengadakan kegiatan mencari
sendiri, maka ia akan memperoleh kepuasan untuk dirinya sendiri.
c.
Peserta
didik dapat mempelajari heuristik (mengelola pesan atau informasi) dari
penemuan (discovery), artinya bahwa
cara untuk mempelajari teknik penemuan ialah dengan jalan memberikan kesempatan
pada peserta didik untuk mengadakan penelitian sendiri.
d.
Dapat
menyebabkan ingatan bertahan lama sampai terinternalisasi pada diri peserta
didik.
Selain beberapa hal di atas,
motivasi lain yang mendorong penggunaan pendekatan inquiry dalam proses pembelajaran adalah karena proses pembelajaran
pada hakikatnya adalah suatu proses yang (a) berpusat pada peserta didik (student centered) artinya peserta
didiklah yang harus memproses pengetahuan dan berperan aktif mencari dan
menemukan sendiri pengetahuannya, (b) dapat membentuk konsep diri positif,
karena peserta didik dilatih untuk bersifat terbuka, sabar, dan kreatif dalam
proses perolehan pengalaman dan pengetahuan, (c) dapat meningkatkan derajat
pengharapan peserta didik, karena melalui pengalaman penelitian yang secara
mandiri, (d) dapat mencegah terjadinya verbalisme, mengingat pendekatan ini
menekankan pada penemuan sendiri, dan (e) memungkinkan peserta didik sebagai
subjek belajar, yaitu dapat menstimulasikan dan mengakomodasikan informasi
mental seperti tindakan belajar yang sebenarnya (Mohamad, 2011:31-32).
2.2 Metode
Pembelajaran
Pembelajaran sastra
dilaksanakan dengan pengutamaan pada kegiatan apresiasi sastra. Hal itu
menyarankan agar siswa diperkenalkan atau dipertemukan dengan karya sastra
secara langsung dan sebanyak-banyaknya. Karya-karya sastra itu tentu sudah
dipilih oleh guru dengan berbagai pertimbangan, di antaranya pertimbangan
faktor usia, bahasa, kematangan jiwa, dan prioritas.
Guru sastra bertugas memberi
siswa kesempatan untuk mengembangkan sendiri kemampuan apresiasinya, bersifat
membantu menyajikan lingkungan dan suasana yang kondusif, misalnya menyediakan
bahan bacaan sastra dan mendorong siswa senang membaca. Siswa hendaknya
didorong agar berkenalan dengan karya sastra, mengadakan kontak dan dialog
langsung dengan karya dengan cara membaca dan menikmatinya. Untuk seterusnya
dapat saja diadakan ruang pembahasan atau diskusi, misalnya tentang
pengalaman-pengalaman yang terkandung di dalamnya, tokoh-tokoh cerita, diksi,
dan seterusnya.
Kegiatan menggauli karya
sastra dilakukan secara langsung, dimaksudkan bahwa siswa itu sendiri harus
secara langsung membaca bermacam sajak, cerita, atau drama dari berbagai
sastrawan dan zaman, atau secara langsung mendengarkan sajak dideklamasikan
atau dibacakan (poetry reading) dan
menyaksikan drama yang dipentaskan. Agar siswa memperoleh pengertian yang
sebaik-baiknya tentang wujud dan fungsi karya sastra dan dapat menghargainya
secara wajar, kegiatan tersebut (membaca, mendengarkan, menyaksikan) harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan
sebanyak-banyaknya.
Perlu diingat bahwasannya
kegiatan apresiasi sastra belum berhenti hanya sampai di situ saja. Demi
sempurnanya kegiatan apresiasi memang masih perlu diikuti dengan pemberian
pengetahuan tentang sastra. Pemberian pengetahuan ini dapat disebut kegiatan
tak langsung, artinya siswa tidak langsung menjamah karya sastranya.
Cara langsung merupakan cara
yang paling diutamakan, yang akan ditingkatkan oleh hadirnya cara yang tak
langsung tersebut. Sesudah siswa bergaul, berdialog langsung dan mendalam
dengan karya (mengenal, memahami, menganalisis, menghayati) mereka diperkuat
dengan pengetahuan tentang sastra. Kecuali itu, dua kegiatan lagi sebagai
pelengkap, yaitu kegiatan dokumentasi dan kegiatan kreatif (Effendi, 1974: 19).
Kegiatan dokumentasi berupa kegiatan mengumpulkan dan menyusun buku-buku dan
majalah-majalah sastra, membuat kliping, dan sebagainya, sementara itu,
kegiatan kreatif berupa kegiatan belajar atau berlatih mencipta sendiri sajak,
cerpen, atau drama kecil.
Metode Imersi (Immersion Method) yang ditawarkan di
sini berangkat dari pandangan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan apresiasi sastra
(pembelajaran sastra) siswa layaknya dibenamkan ke dalam sesuatu atau dibenami
sesuatu. Siswa dibenamkan ke dalam sebuah dunia yang sarat dengan aneka ragam
karya sastra ditambah pengetahuan sastra). Dapat juga dikatakan bahwa siswa
dibenami dengan beronggok-onggok karya sastra (Sumaryadi, 2008).
2.3 Strategi
Pembelajaran
Menurut Wena (2011:5),
strategi pembelajaran adalah cara-cara yang berbeda untuk mencapai hasil
pembelajaran yang berbeda di bawah kondisi yang berbeda.
Strategi pembelajaran
PAILKEM merupakan salah satu strategi yang dapat diterapkan dalam kegiatan
pembelajaran. PAILKEM merupakan sinonim dari Pembelajaran Aktif, Inovatif,
Lingkungan, Kreatif, Efektif, dan Menarik (Mohamad, 2011:10-16).
a.
Pembelajaran
yang Aktif
Aktif dalam strategi ini
adalah memosisikan guru sebagai orang yang menciptakan suasana belajar yang
kondusif atau sebagai fasilitator dalam belajar, sementara siswa sebagai
peserta belajar yang harus aktif.
b.
Pembelajaran
yang Inovatif
Inovatif disini, guru tidak
saja tergantung dari materi pembelajaran yang ada pada buku, tetapi dapat
mengimplementasikan hal-hal baru yang menurut guru sangat cocok dan relevan
dengan masalah yang sedang dipelajari siswa.
c.
Pembelajaran
yang Menggunakan Lingkungan
Konsep pembelajaran ini
berangkat dari belajar kontekstual dengan lebih mengedepankan bahwa hal yang
perlu dipelajari terlebih dahulu oleh siswa adalah apa yang ada pada
lingkungannya.
d.
Pembelajaran
yang Kreatif
Kreatif dimaksudkan agar
guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai
tingkat kemampuan siswa
e.
Pembelajaran
yang Efektif
Segala pertimbangan dalam
strategi ini menyangkut tujuan yang disusun berdasarkan kemampuan siswa,
pemilihan materi yang benar-benar menunjang tujuan, penetapan metode yang
sesuai dengan karakteristik siswa, penggunaan media yang pas serta evaluasi
yang tertuju pada tujuan yang telah ditetapkan, pada akhirnya tetap terpulang
pada bagaimana peran seorang guru dalam mengelola proses pembelajaran.
f.
Pembelajaran
yang Menarik
Inti dari strategi
pembelajaran yang menarik terletak pada bagaimana memberikan pelayanan kepada
siswa sebab posisi siswa jika diibaratkan dalam sebuah perusahaan, maka siswa
merupakan pelanggan yang perlu dilayani dengan baik.
2.4 Teknik
Pembelajaran
Mohamad (2011:7) menyatakan
bahwa teknik pembelajaran adalah jalan, alat atau media yang digunakan oleh
guru untuk mengarahkan kegiatan peserta didik ke arah tujuan yang diinginkan
atau dicapai. Dengan kata lain teknik adalah cara yang digunakan dan bersifat
implementatif. Menurut Trianto (2011:52) model pembelajaran adalah suatu
perencanaan atau pola yang dapat digunakan untuk mendesain pola-pola mengajar
secara tatap muka di dalam kelas dan untuk menentukan material/perangkat
pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film-film, program-program media
komputer. Dapat disimpulkan bahwa teknik sama dengan model yang berarti penggunaan
perangkat/alat/media untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Suatu teknik harus konsisten
dengan metode dan sesuai pula dengan pendekatannya. Teknik berkaitan dengan
strategi yang benar-benar terjadi di ruang kelas. Strategi yang efektif dan
efisien akan tercipta bila strategi itu dapat dengan mudah diterapkan dan dapat
menunjang prestasi belajar siswa.
Untuk melengkapi
pembelajaran sastra dengan metode imersi dan pendekatan inquiry, maka digunakan teknik induksi. Teknik induksi tidak hanya
menuntut peran serta aktif siswa, tetapi lebih jauh daripada itu, mendorong dan
memberi kesempatan yang seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya kepada siswa
untuk mendekati sendiri karya sastra, menggauli secara langsung, dan akhirnya
diharapkan mampu menikmati, menghayati, dan menghargai karya sastra itu
sendiri. Guru hanya bersifat merangsang, memancing, mendorong, dan mengarahkan
kegiatan itu. Yang terjadi selama ini, tampaknya para guru sastra di lapangan
cukup dengan membuat siswanya paham dan mengerti karya sastra melalui
penjelasan atau informasi, tanpa ada kontak langsung siswa-karya. Siswa
dijejali sekian banyak teori dan sejarah sastra. Dengan demikian, siswa banyak
tahu dan paham (hafal) pengetahuan sastra, tetapi tidak atau kurang mampu
mengapresiasi karya. Tujuan utama pembelajaran sastra masih jauh dari
terpenuhi. Kegiatan macam itu jelas kegiatan yang sangat tidak apresiatif.
Teknik induksi menghendaki
lain. Siswa diberi kesempatan secara langsung bergaul intim dan berdialog
dengan karya. Segala sesuatu yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa dalam
pergaulan dan dialog biarlah ditemukan sendiri oleh siswa. Tentu saja, hal itu
tidak terlepas sama sekali dari bimbingan guru. Yang penting guru tidak
bersikap menggurui dan menyuapkan sesuatu yang tinggal telan saja. Tidaklah
mungkin seseorang dapat merasakan kenikmatan sesuatu hanya dengan diberitahu
orang lain tanpa melakukan kontak langsung secara intim dan berdialog akrab
dengan sesuatu itu sendiri.
Penamaan induksi untuk
teknik ini sesungguhnya meminjam istilah dari bidang logika. Seperti diketahui,
terdapat dua cara penarikan kesimpulan, yaitu logika induktif dan logika
deduktif. Logika induktif –yang dipakai di sini—
erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata
menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sebagai suatu proses tertentu, induksi
berupaya menyimpulkan pengetahuan yang ’umum’
atau universal dari pengetahuan yang ’khusus’ atau partikular. Induksi merupakan cara berpikir
dengan jalan menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus
yang bersifat individual.
Implikasinya dalam
pembelajaran sastra, seperti sudah dikemukakan terdahulu, guru bertindak
membimbing dan mengarahkan siswanya agar berhasil menemukan sendiri hal-hal
khusus, ciri-ciri khusus, dan seterusnya, untuk kemudian dibimbing ke arah
penarikan kesimpulan yang bersifat umum tentang karya sastra itu.
Sebagai ilustrasi,
mengajarkan pantun, misalnya, teknik yang cenderung selalu digunakan para guru
sebagai berikut. Pertama, guru memberikan pengertian, batasan, atau definisi
pantun. Berikutnya diberikanlah ciri-ciri pantun atau mengapa bentuk itu
disebut pantun. Akhirnya, disajikan contoh-contoh pantun. Langkah tersebut
masih ditambah lagi dengan model penyajian dikte oleh guru. Langkah tersebut
sangat tidak apresiatif, sehingga hasilnya pun berupa pengetahuan hafalan
belaka.
Dengan teknik induksi yang
merupakan pembalikan langkah-langkah tersebut di atas, siswa diberi kesempatan
langsung berhadapan, berdialog, dan menikmati karya puisi lama itu. Dengan
bimbingan guru siswa diajak mampu menemukan letak-letak keindahannya, ciri-ciri
bentuknya, yang akhirnya sampai pada penyimpulan bahwa karya puisi itu adalah pantun.
Yang juga perlu diingat bahwa pembicaraan atau
pembahasan tidak boleh hanya terbatas pada unsur bentuknya saja. Yang lebih
penting justru pembahasan terhadap unsur isinya. Pembicaraan dapat saja
berkisar pada pokok masalah yang diungkapkan, pendapat pengarang atau penyair
tentang pokok masalah tersebut, perasaan, nada bicara, amanat yang terkandung,
peristiwa yang dibayangkan terjadi di belakang karya, dan seterusnya.
3.
Penyampaian Materi
3.1 Pengajaran
Puisi
Guru hendaknya memilih bahan
berdasarkan tingkat kemampuan siswa-siswinya, dan hendaknya selalu ingat bahwa
tidak ada unsur-unsur magis yang melekat pada nama-nama penyair terkenal atau
mempunyai reputasi yang mantap.
Dalam mengajak para siswa
untuk memahami dan menikmati puisi hendaknya guru tidak terlalu tergesa-gesa
membebani para siswa dengan istilah-istilah seperti gaya bahasa metafora,
hiperbola, personifikasi, dan sebagainya.
3.2 Pengajaran
Prosa
Para guru sastra sebenarnya
sangat beruntung karena mutu dan jenis prosa cerita ini cukup banyak jumlahnya.
Yang berbentuk novel misalnya, guru dengan mudah dapat menemukan novel yang
cocok untuk pembaca awam sesuai dengan tingkat kebahasaan yang dikuasainya.
Novel-novel tersebut mengandung banyak pengalaman yang bernilai pendidikan yang
positif. Jenis karya sastra yang berbentuk novel ini dapat membina minat
membaca siswa.
Langkah penting untuk
menanamkan kebiasaan pada seseorang adalah dengan memberi contoh atau tindakan
nyata. Guru diharapkan dapat menumbuhkan minat dasar bacaan, baik masalah
pribadi, sosial, maupun umum bukan hanya mengutip. Siswa yang telah siap dapat
diberi kesempatan pertama untuk menyampaikan pendapat atau membacakan hasil
karyanya. Sambutan dan pujian dari rekan-rekannya sekelas akan lebih baik
daripada hanya sekedar pujian dari gurunya.
3.3 Pengajaran
Drama
Drama adalah bentuk sastra yang dapat merangsang
gairah dan mengasyikkan para pemain dan penonton sehingga sangat digemari
masyarakat. Tujuan utama dalam mempelajari drama adalah untuk memahami
bagaimana suatu tokoh harus diperankan sebaik-baiknya dalam suatu pementasan.
Untuk mempelajari pementasan ini memang tidak selalu mudah, terutama bagi siswa
yang sama sekali belum mengenal pelik-pelik keadaan suatu pentas drama. Untuk
itu, seorang guru (pelatih) drama bertanggung jawab untuk memperkenalkan
siswa-siswanya pada kondisi pementasan drama. Dalam beberapa hal, lingkungan
siswa sehari-hari (misalnya: televisi, sandiwara, film, dan sebagainya) dapat
dimanfaatkan untuk membantu menyampaikan pengalaman pementasan yang nyata.
4. Penutup
Pembelajaran sastra
merupakan bagian dari pembelajaran bahasa. Guru sebagai fasilitator yang
merangkum kedua pelajaran tersebut hendaknya dapat menggunakan pendekatan,
metode, strategi, dan model yang tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Bahasan kali ini menggunakan pendekatan inquiry
dan recovery, dengan metode imersi
dan teknik induksi serta didukung oleh strategi PAILKEM. Pembelajaran sastra
yang terdiri atas pengajaran puisi, prosa, dan drama dapat lebih dikembangkan
lagi dengan langkah-langkah pengorganisasian materi sehingga suasana belajar dapat
digambarkan dengan jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Broto,
A.S. 1982. Metode Proses Belajar-Mengajar
Berbahasa Dewasa Ini. Solo: Tiga Serangkai
Effendi, S. 1974. Bimbingan Apresiasi Puisi. Flores: Nusa Indah.
Mohamad,
Nurdin dan Hamzah B. Uno. 2011. Belajar
dengan Pendekatan Pembelajaran, Aktif, Inovatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif,
Menarik. Jakarta: Bumi Aksara.
Rahmanto,
B. 1988. Metode Pengajaran Sastra.
Yogyakarta: Kanisius.
Soeharianto,
S. 1976. “Peranan Puisi dalam Kehidupan
Kita” dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra Th.I. Nomor 6. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Sumaryadi.
2008. Pembelajaran Sastra di Sekolah
dalam http://www.sumaryadi.multiply.com/journal/item/2008/03 di akses pada 15
Desember 2011.
Trianto.
2011. Model Pembelajaran Terpadu Konsep,
Strategi, dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Wena,
Made. 2011. Strategi Pembelajaran
Inovatif Kontemporer Suatu Tinjauan Konseptual Operasional. Jakarta: Bumi
Aksara
makasih ya! btw, mbaknya orang palembang ya?
BalasHapus