Landasan Psikologi
1. Pendahuluan
Psikologi
atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa manusia. Jiwa itu sendiri
adalah roh dalam keadaan mengendalikan jasmani yang dapat dipengaruhi oleh alam
sekitar. Oleh karena itu, jiwa atau psikis dapat dikatakan inti dan kendali
kehidupan manusia, yang berada dan melekat dalam manusia itu sendiri.
Psikologi
berasal dari bahasa Yunani “psyche” yang artinya jiwa, dan “logos” yang artinya
ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologi,
psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai
macam-macam gejalanya, prosesnya, maupun latar belakangnya (Ahmadi Abu dan
Supriyono Widodo, 1990:1). Berbicara tentang hal jiwa, terlebih dulu kita harus
dapat membedakan antara nyawa dan jiwa. Nyawa adalah daya jasmaniah yang
tergantung pada hidup jasmani dan menimbulkan perbuatan badaniah, yaitu
perbuatan yang ditimbulkan oleh proses belajar, misalnya reflek, nafsu, dan
sebagainya. Jika jasmani mati, maka mati pulalah nyawanya.
Jiwa
manusia berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani. Jiwa balita baru
berkembang sedikit sekali sejajar dengan tubuhnya yang juga masih berkemampuan
sederhana sekali. Makin besar seorang anak, makin berkembang pula jiwanya,
dengan melalui tahap-tahap tertentu akhirnya anak itu mencapai kedewasaan baik
dari segi kejiwaan maupun dari segi jasmani. Ada yang mengibaratkan bahwa jiwa
dan badan itu sebagai burung dengan sangkarnya. Burung diumpakan jiwa, sedang
sangkar adalah badannya. Ada pula yang mengatakan bahwa jiwa dan badan itu
seperti tuan dengan kudanya. Ada lagi yang mengatakan bahwa setelah badan
rusak, maka jiwa lahir kembali dengan badan baru, dan ada lagi yang mengatakan
bahwa setelah manusia itu mati, jiwa tidak akan kembali lagi.
Bila
dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain seperti: ilmu pasti, ilmu alam dan
lain-lain, maka ilmu jiwa dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan yang serba
kurang tegas, sebab ilmu ini mengalami perubahan, tumbuh, berkembang untuk
mencapai kesempurnaan. Karena sifatnya yang abstrak, maka kita tidak dapat
mengetahui jiwa secara wajar. Kita hanya dapat mengenal gejalanya saja. Jiwa
adalah sesuatu yang tidak tampak, tidak dapat dilihat oleh panca indera.
Demikian pula hakikat jiwa, tak seorang pun dapat mengetahuinya. Manusia dapat
mengetahui jiwa seseorang hanya dengan tingkah lakunya. Jadi, tingkah laku
merupakan kenyataan jiwa yang dapat kita hayati dari luar. Pernyataan tentang
jiwa itu dinamakan gejala-gejala jiwa, diantaranya mengamati, menanggapi,
mengingat, berpikir dan sebagainya. Dari pernyataan tersebut, muncullah
definisi tentang ilmu jiwa, yaitu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.
2. Masalah
Masalah dalam makalah ini meliputi:
1)
Bagaimanakah pembagian psikologi
berdasarkan obyek yang diteliti serta kegunaannya.
2)
Bagaimanakah hubungan psikologi dengan
ilmu-ilmu lain.
3)
Bagaimanakah gambaran landasan
psikologi.
3.
Tujuan
Makalah ini bertujuan
untuk mengetahui, (1) bagaimanakah pembagian psikologi berdasarkan obyek yang diteliti serta kegunaanya, (2)
bagaimanakah hubungan psikologi dengan ilmu-ilmu lain, dan (3) bagaimanakah gambaran landasan psikologi itu.
4.
Pembahasan
4.1
Berdasarkan
atas lapangan atau obyek yang diteliti.
1.
Psikologi Umum: yaitu ilmu jiwa yang
mempelajari gejala-gejala kejiwaan manusia dewasa yang normal dan beradab.
Dalam psikologi umum yang dipelajari adalah sifat-sifat pada umumnya, artinya
persamaan-persamaannya dari manusia dewasa, yang normal dan beradab. Sedangkan
sifat-sifat kejiwaan manusia yang belum dewasa (anak-anak), manusia tidak normal
(orang gila), dan manusia yang tidak beradab (orang primitif), tidak termasuk
ilmu jiwa umum, melainkan termasuk ilmu jiwa khusus
2.
Psikologi khusus: yaitu ilmu jiwa yang
mempelajari sifat-sifat khusus dari gejala-gejala kejiwaan manusia. Psikologi
khusus terdiri atas:
a.
Ilmu jiwa anak: yaitu ilmu jiwa yang
mempelajari jiwa anak sejak lahir hingga dewasa.
b.
Ilmu jiwa perkembangan: yaitu
mempelajari bagaimana proses perkembangan kehidupan jiwa anak normal.
c.
Ilmu jiwa kriminal: yaitu mempelajari
soal-soal yang berhubungan dengan kejahatan, misalnya untuk mengetahui dasar
dan alasan-alasan berbuat jahat.
d.
Psikopathologi: yaitu mempelajari
tentang penyakit-penyakit jiwa atau kelainan-kelainan jiwa seseorang.
e.
Ilmu watak (karakterologi): yaitu
mempelajari watak seseorang atau golongan.
f.
Massa-psikologi: yaitu mempelajari
gejala-gejala yang terjadi pada himpunan manusia banyak.
g.
Ilmu jiwa golongan atau kemasyarakatan:
yaitu mempelajari gejala-gejala jiwa dalam golongan hidup, misalnya guru,
hakim, buruh, pelajar dan sebagainya.
h.
Ilmu jiwa bangsa-bangsa: yaitu
mempelajari gejala-gejala dalam tiap-tiap
bangsa, misalnya bangsa Indonesia, India, Tionghoa dan sebagainya.
Berdasarkan
kegunaannya, ilmu jiwa dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu.
1.
Ilmu jiwa teoritis, yaitu ilmu jiwa yang
mempelajari gejala-gejala kejiwaan untuk gejala-gejala itu sendiri, artinya
belum dihubungkan dengan praktek hidup sehari-hari, melainkan mempelajari
gejala-gejala tersebut sebagai pengetahuan saja untuk menambah pengetahuan
tentang kejiwaan.
2.
Ilmu jiwa praktis, yaitu ilmu jiwa yang
mempelajari segala sesuatu tentang jiwa untuk digunakan dalam praktik. Ilmu
jiwa praktis meliputi.
a.
Psiko-teknik, yaitu teori tentang cara
menetapkan pribadi dan kecakapan seseorang dalam memegang jabatan tertentu.
b.
Psikologi pendidikan, yaitu mempelajari
hal ikhwal jiwa untuk keperluan pendidikan. Jadi segala gejala-gejala yang
berhubungan dengan proses pendidikan dipelajari secara mendalam.
c.
Ilmu jiwa pengobatan, yaitu mempelajari
gejala-gejala kejiwaan yang berhubungan dengan penyembuhan penyakit. Para
dokter selalu berusaha menyelami jiwa orang-orang yang diobatinya, agar dapat
mengetahui sebab yang sebenarnya dari penyakit yang diderita seseorang,
sehingga memudahkan cara mengobatinya.
d.
Ilmu jiwa kriminal, yaitu mempelajari soal-soal
yang berhubungan dengan kejahatan, dan mengetahui alasan seseorang berbuat
jahat.
e.
Ilmu jiwa pastoral, yaitu mempelajari
cara memimpin pengikut suatu agama serta meyakinkan pengikutnya untuk mengkuti
ajaran agamanya. Umumnya ilmu jiwa ini dipelajari oleh para pemimpin agama.
f.
Psikiatri, yaitu ajaran untuk
menyembuhkan penyakit jiwa atau urat syaraf. Ahli penyakit ini disebut
psikiater.
g.
Psiko-diagnostik, yaitu teori tentang
cara menetapkan tanda-tanda penyakit jiwa.
h.
Psiko-therapi, yaitu cara mengobati
cacat jiwa dengan berbagai metode, misalnya sugesti, hipnotis, psikoanalisa
atau ungkapan jiwa.
4.2
Hubungan
psikologi dengan ilmu-ilmu lain.
Psikologi
sebagai ilmu yang mempelajari keadaan manusia, sudah barang tentu mempunyai
hubungan dengan ilmu-ilmu lain, yang sama-sama mempelajari tentang keadaan
manusia. Hal ini akan memberi gambaran bahwa manusia sebagai mahluk hidup tidak
hanya mempelajari psikologi saja, tetapi juga mempelajari ilmu-ilmu lain.
Manusia sebagai mahluk budaya, maka psikologi akan mempunyai hubungan dengan
ilmu-ilmu kebudayaan, filsafat, antropologi, sosiologi, biologi dan sebagainya.
Hubungan psikologi dengan ilmu-ilmu lain meliputi.
a. Hubungan
psikologi dengan filsafat
b. Hubungan
psikoligi dengan ilmu pengetahuan alam
c. Hubungan
psikologi dengan biologi
d. Hubungan
psikologi dengan sosiologi
e. Hubungan
psikologi dengan paedagogik
f. Hubungan
psikologi dengan agama
4.3
Gambaran
landasan psikologi
Landasan
psikologi meliputi, (1) psikologi perkembangan, (2) psikologi belajar, (3)
psikologi sosial, (4) kesiapan belajar dan aspek-aspek individu, dan (5)
implikasi konsep pendidikan (Pidarta, 2007:195)
1.
Psikologi
Perkembangan
Ada tiga teori atau
pendekatan tentang perkembangan. Pendekatan-pendekatan yang dimaksud adalah:
a.
Pendekatan pentahapan. Perkembangan individu
berjalan melalui tahapan-tahapan tertentu. Pada setiap tahap memiliki ciri-ciri
khusus yang berbeda dengan ciri-ciri pada tahap-tahap lain.
b.
Pendekatan diferensial. Pendekatan ini
memandang individu-individu itu memiliki kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan.
Atas dasar ini orang-orang membuat kelompok-kelompok. Anak-anak yang memiliki
kesamaan dijadikan satu kelompok, maka terjadilah kelompok berdasarkan jenis
kelamin, kemampuan intelek, bakat, ras, agama, status sosial ekonomi, dan
sebagainya.
c.
Pendekatan inspiratif. Pendekatan ini
berusaha melihat karakteristik setiap individu, dapat saja disebut sebagai
pendekatan individual. Melihat perkembangan seseorang secara individual.
Dari ketiga pendekatan
ini, yang paling banyak dilaksanakan adalah pendekatan pentahapan. Pendekatan
pentahapan ada dua macam yaitu yang bersifat menyeluruh dan bersifat khusus,
yang menyeluruh akan mencakup segala aspek perkembangan sebagai faktor yang
diperhitungkan dalam menyusun tahap-tahap perkembangan. Sedangkan yang bersifat
khusus hanya mempertimbangkan faktor tertentu saja sebagai dasar menyusun
tahap-tahap perkembangan anak, misalnya pentahapan Piaget, Koglberg, dan
Erikson.
Menurut Crijns (dalam
Pidarta, 2007:196) periode atau tahap perkembangan manusia secara umum adalah
sebagai berikut.
1. Umur
0-2 tahun disebut masa bayi. Pada masa ini, si bayi sebagian besar memanfaatkan
hidupnya untuk tidur, memandang, mendengarkan, kemudia belajar merangkak, dan
berbicara.
2. Umur
2-4 tahun disebut masa kanak-kanak. Pada masa ini anak sudah mulai bisa
berjalan, menyebut beberapa nama. Pengamatan yang mula-mula global, kini sudah
mulai bisa melihat struktur, permainan mereka bersifat fantasi, masih suka
menghayal sebab belum sadar akan lingkungannya.
3. Umur
5-8 tahun disebut masa dongeng. Anak-anak pada masa ini mulai sadar akan
dirinya sebagai seseorang yang mempunyai kedudukan tersendiri seperti halnya
dengan orang-orang lain
4. Umur
9-13 tahun disebut masa Robinson Crusoe (nama seorang petualang). Dalam masa
ini mulai berkembang pemikiran kritis, nafsu persaingan, minat-minat, dan
bakat. Mereka ingin mengetahui segala sesuatu secara mendalam, suka bertanya,
dan menyelidiki.
5. Umur
13 tahun disebut masa pubertas pendahuluan, misalnya anak-anak ini mulai
tertuju ke dalam dirinya sendiri, mereka mulai belajar bersolek, suka
menyendiri, melamun, dan segan olahraga.
6. Umur
14-18 tahun disebut masa puber. Mereka kini mulai sadar akan pribadinya sebagai
seorang yang bertanggung jawab. Mereka sadar akan hak-hak segala kehidupan
dalam lingkungannya. Mereka mulai mengoreksi diri sendiri, seperti mengapa dia
ada dan apa hubungannya dengan dunia ini.
Mereka takut dicampuri oleh orang dewasa, hanya berhubungan dengan
teman-teman seperasaan.
7. Umur
19-21 tahun disebut masa adolesen. Anak-anak pada masa ini mulai menemui
keseimbangan, mereka sudah punya rencana hidup tertentu dengan nilai-nilai yang
sudah dipastikannya. Namun mereka belum berpengalaman, maka timbullah sikap
radikal, ingin menolak, mencela, dan merombak hal-hal yang tidak disetujuinya
dalam politik, agama, sosial, kesenian, dan sebagainya.
8. Umur
21 tahun ke atas disebut masa dewasa. Pada masa ini remaja mulai menyadari
bahwa pekerjaan manusia tidak mudah dan selalu ada cacatnya. Mereka mulai
berhati-hati.
Sekarang kita lihat
psikologi perkembangan menurut Rouseau. Dia membagi masa perkembangan anak atas
empat tahap, yaitu.
1. Masa
bayi dari 0-2 tahun yang sebagian besar merupakan perkembangan fisik.
2. Masa
anak dari 2-12 tahun yang dinyatakan perkembangannya baru seperti hidup manusia
primitif.
3. Masa
pubertas dari 12-15 tahun, ditandai dengan perkembangan pkiran dan kemauan
berpetualang.
4. Masa
Adolesen dari 15-25 tahun, pertumbuhan seksual menonjol, sosial, kata hati, dan
moral. Remaja di usia ini sudah mulai belajar berbudaya.
Sementara itu Stanley
Hall penganut teori evolusi dan teori rekapitulasi membagi masa perkembangan
anak sebagai berikut (Nana Syaodih dalam Pidarta, 1988:199).
1. Masa
kanak-kanak ialah umur 0-4 tahun sebagai masa kehidupan binatang.
2. Masa
anak ialah umur 4-8 tahun merupakan masa sebagai manusia pemburu.
3. Masa
muda ialah umur 8-12 tahun sebagai manusia belum berbudaya.
4. Masa
adolesen ialah umur 12-dewasa merupakan manusia berbudaya.
Havinghurst menyusun
fase-fase perkembangan sebagai berikut (Mulyani dalam Pidarta, 1988:201).
1. Tugas
perkembangan masa kanak-kanak.
2. Tugas
perkembangan masa anak.
3. Tugas
perkembangan masa remaja.
4. Tugas
perkembangan masa dewasa awal
5. Tugas
perkembangan masa setengah baya
6. Tugas
perkembangan orang tua.
4.4
Psikologi
Belajar
Belajar adalah
perubahan prilaku yang relatif permanen sebagai hasil pengalaman, dan bisa
melaksanakannya pada pengetahuan lain serta mampu mengomunikasikannya kepada
orang lain. Ada sejumlah prinsip belajar menurut (Gagne dalam Pidarta, 1979:206).
1. Kontiguitas,
memberikan situasi atau materi yang mirip dengan harapan pendidik tentang
respons anak yang diharapkan, beberapa kali secara berturut-turut.
2. Pengulangan,
situasi dan respons anak diulang-ulang atau dipraktikkan agar belajar lebih
sempurna dan lebih lama diingat.
3. Penguatan,
respons yang benar misalnya diberi hadiah untuk mempertahankan dan menguatkan
respons itu.
4. Motivasi
positif dan percaya diri dalam belajar.
5. Tersedia
materi pelajaran yang lengkap untuk memancing aktivitas anak-anak.
6. Ada
upaya untuk membangkitkan keterampilan intelektual untuk belajar, seperti
apersepsi dalam mengajar.
7. Ada
strategi yang tepat untuk mengaktifkan anak-anak dalam belajar.
8. Aspek-aspek
jiwa anak harus dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam pengajaran.
4.5
Faktor-faktor
Psikologi dalam Belajar
Menurut
Suryabrata (2007:236) hal yang mendorong seseorang untuk belajar adalah sebagai
berikut:
-
Adanya sifat ingin tahu dan ingin
menyelidiki dunia yang lebih luas;
-
Adanya sifat yang kreatif yang ada pada
manusia dan keinginan untuk selalu maju;
-
Adanya keinginan untuk mendapatkan
simpati dari orang tua, guru, teman;
-
Adanya keinginan untuk memperbaiki
kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru baik dengan kooperasi maupun dengan
kompetisi;
-
Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa
aman bila menguasai pelajaran;
-
Adanya ganjaran atau hukuman sebagai
akhir dari belajar
Apa yang telah
dikemukakan diatas adalah sekedar penyebutan sejumlah kebutuhan-kebutuhan saja,
yang tentu saja dapat ditambah lagi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut tidaklah
lepas satu sama lain, melaikan suatu keseluruhan (kompleks) untuk mendorong
belajarnya anak. Kompleks kebutuhan-kebutuhan itu sifatnya individual berbeda
dari anak yang satu ke anak yang lainnya. Pendidik harus berusaha mengenal
kebutuhan yang mana yang dominan pada anak didiknya.
4.6
Psikologi
Sosial
Psikologi sosial adalah
psikologi yang mempelajari psikologi seseorang dalam masyarakat, yang
menggabungkan ciri-ciri psikologi dengan ilmu sosial untuk mempelajari pengaruh
masyarakat terhadap individu dan antarindividu (Hollander dalam Pidarta, 1981:219).
Dengan demikian, psikologi ini mencoba melihat keterkaitan masyarakat dengan
kondisi psikologi kehidupan individu.Motivasi juga merupakan salah satu aspek
psikologi sosial, sebab tanpa motivasi tertentu seseorang sulit untuk
berpartisipasi di masyarakat. Sehubungan dengan ini, pendidik mempunyai
kewajiban untuk menggali motivasi anak-anak agar muncul sehingga mereka dengan
senang hati belajar di sekolah.
Kecenderungan manusia
untuk bersahabat sudah dimulai sejak permulaan dia hidup, yaitu sejak masih bayi.
Hampir semua bayi merespons secara positif terhadap satu atau lebih orang
dewasa yang ada disekitarnya. Lebih lanjut, hampir semua orang tua sayang
terhadap anak-anaknya, mereka ingin selalu dekat dengan anak-anaknya. Demikian
juga sebaliknya. Hal inilah yang membuat terjadinya persahabatan atau
keakraban.
Ada kecenderungan umum
bahwa orang-orang membentuk kesan tentang orang lain dalam pertemuan sekejap
saja. Melihat orang atau gambarannya, seseorang cenderung membuat keputusan
tentang sejumlah karakteristik orang bersangkutan. Perlu diketahui bahwa kesan
pertama belum tentu benar. Bila kesan pertama salah, setelah melihat penampilan
sesungguhnya, dapat membuat si pemberi kesan
kecewa.
4.7
Kesiapan
Belajar dan Aspek-aspek Individu
Kesiapan belajar secara
umum adalah kemampuan seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari pengalaman
yang ia temukan. Sementara itu, kesiapan kognisi bertalian dengan pengetahuan,
pikiran, dan kualitas berpikir seseorang dalam menghadapi situasi belajar yang
baru. Kemampuan-kemampuan ini bergantung pada tingkat kematangan intelektual.
Dalam proses
pendidikan, peserta didik atau warga belajarlah yang harus memegang peranan
utama. Sebab mereka adalah invidu yang hidup dan mampu berkembang sendiri.
Pendidikan harus memperlakukan dan melayani perkembangan mereka secara wajar.
Ibarat proses mekarnya bunga, pendidik tidak boleh memaksa kelopak-kelopak
bunga agar segera mekar, melainkan harus menunggu dengan sabar sambil rajin
memberi pupuk.
Peserta didik atau
warga belajar adalah sebagai individu, mereka dapat dapat juga disebut sebagai
subjek didik. Subjek didik merupakan subjek yang mempunyai pendirian sendiri,
asprasi sendiri, kemampuan sendiri, dan sebagainya. Mereka mampu melakukan
kegiatan sendiri untuk mengembangkan dirinya masing-masing dengan menggunakan
perlengkapan-perlengkapan yang mereka miliki
4.8
Implikasi
Konsep Pendidikan
Tinjauan tentang
psikologi perkembangan, psikologi belajar, psikologi sosial, dan kesiapan
belajar serta aspek-aspek individu, memberikan implikasi kepada konsep
pendidikan. Implikasi itu sebagian besar dalam bidang kurikulum, sebab materi
pelajaran dan proses belajar harus sejalan dengan perkembangan, cara belajar,
cara mengadakan kontak sosial, dan kesiapan belajar mereka. Implikasinya
terhadap konsep pendidikan adalah sebagai berikut.
1.
Psikologi perkembangan yang bersifat
umum, yang berorientasi pada afeksi, dan pada kognisi, semuanya memberi
petunjuk pada pendidik bagaimana seharusnya ia menyiapkan dan mengorganisasi
materi pendidikan serta bagaimana membina anak-anak mereka agar mau belajar
sukarela.
2.
Psikologi belajar
Klasik
1) Disiplin mental bermanfaat untuk menghafal
perkalian dan melatih soal-soal.
2) Naturalis atau aktualisasi diri bermanfaat
untuk pendidikan seumur hidup.
3) Behavioris, bermanfaat atau cocok untuk
membentuk perilaku nyata.
4) Kognisi cocok untuk mempelajari
materi-materi pelajaran yang lebih rumit yang membutuhkan pemahaman dalam
memecahkan masalah, dan berkreasi menciptakan sesuatu bentuk atau ide baru.
3. Psikologi Sosial
a. Persepsi
diri atau konsep tentang diri sendiri ternyata bersumber dari perilaku yang overt dan persepsi kita terhadap
lingkungan yang banyak dipengaruhi oleh sikap serta perasaan kita. Agar para
siswa memiliki konsep diri yang riil, maka pendidik perlu mengembangkan
perilaku yang overt, persepsi
terhadap lingkungan secara wajar, dan sikap serta perasaan yang positif. Konsep
diri yang keliru dapat merusak perkembangan anak.
b. Pembentukan
sikap bisa secara alami, dikondisikan, dan meniru sikap para tokoh. Pendidik
perlu membentuk sikap anak yang positif dalam banyak hal.
c. Sama
dengan sikap, motivasi anak juga perlu dikembangkan pada saat yang
memungkinkan.
d. Hubungan
yang intim diperlukan dalam proses konseling.
e. Pendidik
perlu membendung perilaku agresif anti sosial, tetapi mengembangkan agresif
prososial dan sanksi.
f. Pendidik
juga perlu mengembangkan kemampuan memimpin dikalangan anak-anak. Sebab
kepemimpinan sangat besar peranannya dalam mencapai sukses belajar atau
berorganisasi dalam kehidupan setelah dewasa.
4. Kesiapan
belajar yang bersifat afektif dan kognitif perlu diperhatikan oleh pendidik,
agar materi yang dipelajari anak-anak dapat dipahami dengan baik.
Penutup
Tidak diragukan lagi
bahwa sejak anak manusia yang pertama lahir di dunia, telah dilakukan
usaha-usaha pendidikan. Manusia telah berusaha mendidik anak-anaknya, kendati
pun dalam cara yang sangat sederhana. Demikian pula sejak manusia saling
bergaul, telah ada usaha dari orang-orang yang lebih mampu dalam hal-hal
tertentu untuk memengaruhi orang lain, teman bergaul mereka, untuk kepentingan
kemajuan orang-orang bersangkutan.
Dari uraian ini
jelaslah kiranya, bahwa masalah pendidikan adalah masalah setiap orang dari
dulu hingga sekarang, dan diwaktu-waktu yang akan datang.
Daftar
Pustaka
Ahmadi,
Abu dan Supriyono Widodo. 1991. Psikologi
Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Suryabrata,
Sumadi. 2007. Psikologi Pendidikan.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
LANDASAN PSIKOLOGI
Oleh:
Tuty Kusmaini NIM 20112506078
Nyayu
Lulu Nadya NIM
20112506059
Program
Studi Pendidikan Bahasa
Bidang
Kajian Utama Pendidikan Bahasa Indonesia
Program
Pascasarjana
Universitas
Sriwijaya
Palembang
Komentar
Posting Komentar