Raudha Pengukir Rindu
“Dan Raudha itu adalah taman-taman surganya Allah
SWT dan siapa saja yang berdoa disana insyaAllah, Allah akan mengijabah
doanya”. Terang ustad Muslim. Semangatku semakin berkobar. Mendengar tema
ceramah ustad Muslim kemarin tentang Raudha itu membuat aku semakin kencang
menarik pedal roda tiga ini. Ku kayuh dalam terik yang teramat sangat demi
untuk dapat berjumpa dengan kekasihmu, ya Rabb. “Aku ingin bertemu, harus!”
gumamku. “Walau hanya melihat mimbar dan kuning kemilauan dari makammu tapi,
hanya itulah yang mampu mengobati rindu ini” ucapku dalam hati. Jalanan terasa
sedikit lenggang dari biasanya. Bu Rahman sepertinya sangat menikmati angin
dari balik atap terpal becakku. Aku merasa bahagia bila melihat langgananku
satu ini. Ibu Rahman tipikal orang yang amat baik. Tak sedikit ia selalu
memberiku sebagian rejekinya. Hingga akhirnya, aku pun bercerita tentang
keinginanku menginjakkan kaki di Masjid Nabawi. “Subhanallah..Allah pasti
membuka jalan dari doa-doa mamang, insyaAllah, amin” jawabnya.
*
Dalam malam-malam seperti inilah biasanya aku
terjaga. Dan selalunya rutinitas pengaduan dan permintaan ini telah aku lakukan
sejak dulu sebelum menikah. Istriku pun ternyata mempunyai kesamaan rutinitas
denganku, mungkin saja Allah mempertemukan kami karena kesamaan ini.
“Alhamdulillah” ucapku lirih. Aku selalu merasakan tak ada nikmat Allah yang
dapat di ingkari. Aku mulai hanyut dalam kalimat puji-pujian dan doa, tak
terkecuali doa untuk haji dan bersua di Masjid Nabawi.
“Yah…”
panggil Mina, istriku. Aku hanya bisa memberi anggukan bertanda aku menjawab
panggilannya. “Ayah, masih suka mangkal di simpang empat Jalan Abu Bakar itu
ya. Ibu dengar disitu pemalaknya serem-serem yah, mereka suka minta duit
semaunya saja, benar kan, Yah??” tanya istriku. Lagi, aku hanya bisa
menggangguk. “Ayah sudah tahu tapi kenapa masih suka mangkal di situ, Yah?Ibu
hanya khawatir, Yah..karena kabar yang ibu dengar pemalaknya itu bisa berbuat
apa saja jika mereka minta uang tapi nggak
dikasih, ibu sangat takut jika mereka
meminta sama ayah terus ayah tidak memegang uang sama sekali dan ibu tidak bisa
membayangkannya, Yah” sambung ibu lemah. “Bu, Allah telah mengatur
segalanya..disana itu ramai, Bu..banyak anak sekolah, orang kerja, pedagang,
orang belanja, anak kuliahan, hampir semuanya ada disana dan ayah juga jadinya
enak tinggal nunggu antrian pasti langsung dapat penumpang. Alhamdulillah
rejeki kita sehari-hari cukup malah kita masih bisa nabung untuk pergi haji dan
yang pasti sebelum sampai di Baitullah kita kan singgah dulu ke Masjid Nabawi
dan bertemu lah kita dengan makam Rasulullah, makam Rasul, Bu!!” ujarku dengan
penuh semangat. Kutatap istriku hingga aku hanya bisa melihat cairan bening itu
menjatuhi pipinya. “Ibu, ayah sayang ibu….Qadha dan Qadhar manusia itu telah di
tentukan Allah, Bu…ayah ikhlas seandainya jalan hidup ayah memang harus bertemu
dengan pemalak-pemalak itu. Dan ibu pun harus ikhlas jika memang ayah yang
kembali lebih dulu ataupun sebaliknya. InsyaAllah kita bertemu kembali, Bu”
jawabku dengan senyum. Aku sungguh merasakan kekhawatiran istriku ini. Inilah
kehidupan kami selama hampir dua puluh tahun berumah tangga dengan penghasilan
sangat ngepas. Kami hanya bisa selalu
bersyukur. Entah aku hanya dapat sepuluh ribu atau bahkan empat puluh ribu
sehari tetapi, aku dan keluargaku selalu tersenyum seakan-akan aku selalu
memenuhi keinginan mereka. Tiga orang anak yang menjadi penyejuk pandanganku
pun seakan tahu diri bahwa ayahnya hanyalah seorang tukang becak. Tak ada
banyak keinginan yang mereka sampaikan padaku. “Ya Allah semoga kelak kami di
bertemukan kembali di Surga, amiiiinnnn” serentak aku dan istriku berkata. Azan
Subuh mengajak kami kembali untuk mengolah tubuh. Dua rakaat telah selesai kami
laksanakan berjamaah. Nia bertanya “Jadi, ayah bisa bertemu Rasulullah ya,
Yah?? Wahhh hebat sekali, Yah..kata ustadzah kami Rasulullah itu kekasih Allah
dan siapa yang mencintai kekasihNya pasti Allah akan cinta juga apalagi kalau
ayah sampai bisa bertemu gitu,
waahhh…subhanallah…Nia senang sekali, Yah..Nia mau nitip salam aja buat
Rasulullah ya, Yah”. Keluguan Nia membuat airmataku seakan tak ada rem lagi,
terus melaju tak berhenti. Aku hanya mampu memberi senyuman dan pelukan untuk
keluarga bahagiaku ini. “insyaAllah, Nak..Allah memberikan jalan untuk kita
walau hanya lewat mimpi” ujarku dalam hati.
Tok..tok..tok..ketukan
pintu membuat kami semua terkejut. “Mang Rohim, Mang Rohim” ujar orang yang
mengetuk pintu. “Siapa?tunggu” jawab Yusuf. Bu Rahman muncul dengan wajah
pucat, “Pak, tolong antarkan suami saya ke rumah sakit sekarang, sesak nafasnya
kumat!” “Mari Bu, saya hantar…Assalammualaikum” pamitku. Secepatnya aku
berusaha mengayuh laju becak ini berharap sebelum jam enam kami telah sampai di
Rumah Sakit Cendikia, di Jalan Abu Bakar. Aku dapat membawa cepat becak ini
karena memang jalanan masih terasa sepi. “Terima kasih, mang…sudah menunggu,
Alhamdulillah Bapak agak mendingan, mamang tarik becak aja lagi, ini mang” kata
Bu Rahman sambil mengeluarkan selembar uang berwarna biru.
“Alhamdulillah…sama-sama, Bu…baiklah kalau begitu saya pamit, Bu.
Assalammualaikum”.
*
Jam
sepuluh memang waktunya menunggu. Setelah mengantar bu Rahman tadi satu pun
belum ada penumpang yang naik. Aku merebahkan badan di dalam becak. Merasakan
hembusan angin memang nikmatnya luar biasa. Aku pikir tidak ada salahnya jika
sebentar saja memejamkan mata. Praaaaakkkk. “Heeeiiii mang…kerjamu tidur saja.
Setoran dulu dong!! Teriak lelaki
bertato itu. Aku tersentak “Maaf, belum dapat penumpang”. Aku menyembunyikan
uang dari Bu Rahman tadi karena untuk makan dan pastinya menyisakan sedikit
untuk ‘si ayam merah’ yang selalu menunggu untuk di isi dengan recehan ataupun
lembaran. “Bohong!! Kau berani berbohong denganku sama saja cari mati, Mang!”.
Aku gemetar. “Serahkan atau kau menerima hadiah dariku”, sentak lelaki itu.
“Aku tidak berbohong, benar memang tidak punya uang, belum ada penumpang”
jawabku. Orang-orang semakin ramai berkerubung. Aku semakin takut. Lelaki itu
memeriksa becak dan kantong celanaku. Aku mengiba. Aku meminta belas kasih.
Uang aku sembunyikan di dalam kaus kaki. “Aman” pikirku. Tetapi, kontan
saja…hadiah dari lelaki itu lebih cepat sampai di ulu hatiku, sangat tepat.
Darah segar pun mengalir. Aku lunglai. Gelap.
*
“Assalammualaika ya rasulullah,
assalammualaika ya habiballah, assalamualaika ya nabiyullah”
Hanya
kata-kata ini yang menemani langkah kaki yang teramat sangat letih. Cucuran
keringat masih terus menetas dari sekujur tubuh ini. “Ya Rasul, perjuanganku
rasanya tiada arti dengan perjuanganmu dulu” batinku berkata. Tangis semakin
pecah tatkala melihat di balik kuningan itu terdapat makammu. Sambil menunggu
antri untuk menyentuh karpet hijau, akupun terus bersalawat. Tak henti segala
ucap syukur dan nikmat yang aku rengkuh sekarang ini menjadi sungguh nyata.
Antrian sampai, aku pun melejit cepat mencari tempat untuk sholat sunat mutlak.
Khusyuk. Sungguh berbeda nikmat ini yang aku rasa. Merasa Engkau semakin
melihatku dalam jarak dekat. “Amiiinnnn…amiinnn ya Allah” ucapku sambil
sesegukan. Sangat banyak doa yang ku ucap tadi. Segalanya aku sampaikan dalam
doa di taman surgaMu. Aku sangat berharap doa-doa itu di ijabah, ya Allah.
“Ibuuuuuu,
ayah sadar….ayah sadar, Bu!!” Ani berteriak. “Istighfar, Yah” Nia menimpali.
“Laillahaillallah” sambung Yusuf. Tak hentinya mereka meneriakkan aku. Terus
menerus mereka menunggu hingga aku kembali dari perjalanan panjangku di Masjid
Nabawi.
“Assalammualaika
ya rasulullah, assalammualaika ya habiballah, assalamualaika ya nabiyullah”
ucapku lirih. Aku masih merasakan wangi taman surga itu.
“Ayah..ayah…ayaaaaaaaahhhhh”
anak-anakku semakin menjadi-jadi memanggil aku. Sayup-sayup dalam isak kudengar
lantunan suara istriku membaca Al-Qur’an. Tanganku semakin bergetar. Hembusan
angin meredup pelan. Tiada tuhan selain Allah. Rasanya aku telah sampai.
“Innalillahiwainnaillaihirojiun”.
Tangis semakin pecah dan menggema.
22
Ramadhan 1432 H
-NLN-
Komentar
Posting Komentar