Musi Buat Lulu

            Sepi mengepul dalam pelukan senja di Musi. Bisik cerita akan nelayan menjamah duniaku sore ini. Mereka bergurau di temaram yang menikam senja. Peraduan mentari itu pun menemani jiwa-jiwa yang mencoba menerima kehadiran kita. Senyum lalu lalang penjual keripik itu membatas senja kali ini. Ya, Musi selalu membuat aku terpesona mesti aku sudah beratus kali datang kesini. Keramaian itu membuatku rikuh untuk bersetubuh dengan angin sepoinya.
            Aku masih ingat ketika ucapku meminjam hati seorang wanita yang kukecup dengan
segenap cinta di tepi Musi. Belum lagi kami mengganti baju sekolah kami yang putih abu itu sudah saja kaki beranjak cepat menginjaknya. Musi menjadi pilihan kami sekelas untuk pergi sebagai penghibur akhir pekan sebelum nantinya kami harus berpisah merantau menuntut ilmu ke kota orang. Ya, kami memang sekelas tapi aku punya cinta untuk satu orang disana namanya Lulu. Ia asli palembang tidak sepertiku yang kelahiran kalimantan. Entah kenapa dari sekian wanita yang selalu tertawa dan mengumbar senyum aku tidak berminat membalas sapanya. Hanya Lulu yang membuatku malu tersipu dan sembunyi di balik buku latihan matematikaku. Lulu bukan seperti wanita lainnya. Itulah yang membuat aku harus memberi perhatian kepadanya sebab bukan seperti biasa. Terkadang aku harus beratus kali tersenyum dalam satu hari di dalam kelas tapi dia cuma senyum sekali. Memang benar ia luar biasa apa dia bisu ? tidak mungkin, karena setiap menjawab pertanyaan dari guru ia selalu lantang dan bijak. Ah, mungkin dia belum mau membalas senyumku saja kupikir.
            Tiga tahun aku mencoba meredam kesunyian hatiku pada Lulu. Ia tetap sama dalam balut sepi. Percuma saja aku tersenyum dalam bahagia-sebahagianya tetapi ia selalu sepi dalam balasnya. Aku tak sanggup lagi dengan simpul yang terus kau pukau. Ya, senyum kamu itu buatku tapi kenapa sekali saja tak kau balas senyumku. Ini saatnya mungkin ketika tiga tahun sudah berjalan aku belum mengecup seranum senyum yang membias dalam mimpiku untuk nanti malam. Lulu, hari ini mungkin jadi hari bersejarah buat anak-anak kita ketika kau harus menjawab senyumku aku tidak akan lagi tersenyum buatmu.
            Angkutan kota itu berhenti di depan sekolah kami yang hampir runtuh itu. Kami sekelas langsung naik ke dalam dan tentu saja Lulu harus duduk disampingku tapi kali ini kutahan senyumku padanya. Ini agar nanti ia mendapatkan senyum terbaikku ketika aku harus mengatakan bait cinta padanya di tepi Musi.
            Mereka bergegas mencari tempat yang asyik untuk mengabadikan gambar kami dengan tustel masing-masing. Berharap fotonya nanti bisa berguna untuk mengenang masa lalu yang indah ini. Namun aku tidak ikut sejenak. Aku menggenggam tangan Lulu dan membawanya ke Musi tepat di depan sebuah perahu nelayan. Senyumku membawa ia ke hadap sinar mentari yang kan rubuh diterkam malam. Tahukah kau bahwa aku mencintaimu ?, ucapku redup.  Ia tersenyum, luar biasa aku tak habis pikir melihatnya. Maukah kau menjadi peredam kalbuku yang kosong ? . Ia terhenti sejenak dan “Nanti aku jawab ya. Aku mau beli air minum dulu sebentar haus soalnya”. Aku pun tersenyum dalam ketidaksabaran menunggunya. Ya, silahkan Lulu. Aku tunggu ya. Hati-hati.
            Dalam tungguku aku mengimaji wajahnya yang teduh dan sejuk. Pipinya selalu membuatku ingin mendaratkan cubitan manja agar ia tak lagi cemberut. Lulu selalu membuai  dalam senja-senja seperti ini.
            “Braaakkkk...”, belum berapa saat Lulu pergi dari tempatku. Aku meracau dalam galau yang tak berujung. Segera kuberlari menuju tepi jalan di Musi. Naas, Kulihat senyum yang terbius darah dan menyemut pilu di tengah jalan. Wanita yang menyendu senyumku untuk merajut bahagia di ujung Musi. Senja merundut duka. Angin tak lagi mau menyapa kata yang sama. Sebab senyum sudah derai di Pinggir Musi. Kita sama dalam cinta yang kan kuucap tadi. Namun tak sama dalam rundut takdir yang menyua.
            Ada yang menangis ada yang tertawa. Ada yang lahir ada yang mati. Ada yang tersenyum ada yang berkabut duka. Ada kubangan cinta ada kubangan lara. Aku harus menyetubuh dengan wewangian lara bertumpuk kesunyian air terjun yang tak ingin bemuara. Percuma mencinta sebab kupikir kita sama dalam kata tapi tidak dalam cinta.


Komentar

Postingan Populer